Selasa, 22 Mei 2012

Topik-topik Cyber Law


Secara garis besar ada lima topik dari Cyber Law di setiap negara yaitu:
a.              Information security.
Menyangkut masalah keotentikan pengirim atau penerima dan integritas dari pesan yang mengalir melalui internet. Dalam hal ini diatur masalah kerahasiaan dan keabsahan tanda tangan elektronik.
b.              On-line transaction.
Meliputi penawaran, jual-beli, pembayaran sampai pengiriman barang melalui internet.
c.               Right in electronic information.
Soal hak cipta dan hak-hak yang muncul bagi pengguna maupun penyedia content.
d.              Regulation information content.
Sejauh mana perangkat hukum mengatur content yang dialirkan melalui internet.
e.               Regulation on-line contact.
Tata karma dalam berkomunikasi dan berbisnis melalui internet termasuk perpajakan, retriksi eksport-import, kriminalitas dan yurisdiksi hukum.

Komponen-komponen Cyber law


a.              Tentang yurisdiksi hukum dan aspek-aspek terkait.
Komponen ini menganalisa dan menentukan keberlakuan hukum yang berlaku dan diterapkan di dalam dunia maya itu.
b.             Tentang landasan penggunaan internet sebagai sarana untuk melakukan kebebasan berpendapat yang berhubungan dengan tanggung jawab pihak yang menyampaikan, aspek accountability, tangung jawab dalam memberikan jasa online dan penyedia jasa internet (internet provider), serta tanggung jawab hukum bagi penyedia jasa pendidikan melalui jaringan internet.
c.              Tentang aspek hak milik intelektual.
Dimana adanya aspek tentang  patent, merek dagang rahasia yang diterapkan serta berlaku di dalam dunia Cyber.
d.             Tentang aspek kerahasiaan yang dijamin oleh ketentuan hukum yang berlaku di masing-masing yurisdiksi negara asal dari pihak yang mempergunakan atau memanfaatkan dunia maya sebagai bagian dari
sistem atau mekanisme jasa yang mereka lakukan.
e.              Tentang aspek hukum yang menjamin keamanan dari setiap pengguna internet.
f.              Tentang ketentuan hukum yang memformulasikan aspek kepemilikan dalam internet sebagai bagian dari nilai investasi yang dapat dihitung sesuai dengan prinisip-prinsip keuangan atau akuntansi.
g.             Tentang aspek hukum yang memberikan legalisasi atas internet
sebagai bagian dari perdagangan atau bisnis usaha.

Asas-asas Cyber Law


          Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa asas yang biasa digunakan, yaitu :
a.              Subjective territoriality
Menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain.
b.             Objective territoriality.
Menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dimana akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan.
c.              Nationality.
Menentukan bahwa okum mempunyai jurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku.
d.             Passive nationality.
Menekankan yurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban.
e.              Protective principle.
Menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban adalah negara atau pemerintah.
f.              Universality.
          Asas ini selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum kasus-kasus Cyber. Asas ini disebut juga sebagai “universal interest yurisdiction”. Pada mulanya asas ini menentukan bahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian diperluas sehingga mencakup pula kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), misalnya penyiksaan, genosida, pembajakan udara dan lain-lain.

Teori-teori Cyber Law

Berdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang Cyber maka dapat dikemukakan beberapa teori sebagai berikut :
a. The Theory of the Uploader and the Downloader.
Berdasarkan teori ini, suatu negara dapat melarang dalam wilayahnya, kegiatan uploading dan downloading yang diperkirakan dapat bertentangan dengan kepentingannya. Misalnya, suatu negara dapat melarang setiap orang untuk uploading kegiatan perjudian atau kegiatan perusakan lainnya dalam wilayah negara, dan melarang setiap orang dalam wilayahnya untuk downloading kegiatan perjudian tersebut. Minnesota adalah salah satu negara bagian pertama yang menggunakan yurisdiksi ini.
b. The Theory of Law of the Server.
Pendekatan ini memperlakukan server dimana Web Pages secara fisik berlokasi, yaitu di mana mereka dicatat sebagai data elektronik. Menurut teori ini sebuah webpages yang berlokasi di server pada Stanford University tunduk pada hukum California. Namun teori ini akan sulit digunakan
apabila uploader berada dalam yurisdiksi asing.
c. The Theory of InternationalSpaces.
Ruang cyber dianggap sebagai the fourth space. Yang menjadi analogi adalah tidak terletak pada kesamaan fisik, melainkan pada sifat internasional, yakni sovereignless quality.

Dasar Hukum Cyber Law di Indonesia


        Indonesia memiliki hukum yang mengatur transaksi elektronik yaitu UU ITE yang merupakan kepanjangan dari Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik. 
          UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elekronik) yang disahkan DPR pada 25 Maret 2008 menjadi bukti bahwa Indonesia tak lagi ketinggalan dari negara lain dalam membuat peranti hukum di bidang Cyber Space Law. UU  ini merupakan Cyber Law di Indonesia, karena muatan dan cakupannya yang luas dalam membahas pengaturan di dunia maya.
          UU ITE ini mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UU ITE ini juga diatur berbagai ancaman hukuman bagi kejahatan yang dialkuakn melalui internet. UU ITE juga mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat pada umumnya guna mendapatkan kepastian hukum  dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan digital sebagai bukti yang sah di pengadilan.  
Yang terkandung dalam UU ITE antara lain adalah sebagai berikut:
a.              Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konvensional (tinta basah dan bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN Framework Guidelines (pengakuan tanda tangan digital lintas batas).
b.             Alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHP.
c.              UU ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hukum di Indonesia.
d.             Pengaturan Nama domain dan Hak Kekayaan Intelektual
e.              Perbuatan yang dilarang (Cyber Crime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37) :